107 tahun. Tapi setiap hari, Mak Titi masih harus bekerja... sendirian.
Tidak banyak yang tahu namanya. Tapi bagi sebagian orang yang pernah melewati pinggiran jalan di daerah Sukamiskin, Bandung—mungkin pernah melihatnya. Seorang perempuan tua, tubuh kecil dan membungkuk, duduk di bawah panas matahari sambil menjajakan telur asin. Itulah Mak Titi.
Di usianya yang melewati satu abad, ia masih bangun pagi, naik angkot sendiri, membawa dagangannya dari satu tempat ke tempat lain. Setiap pagi sekitar jam 7, Mak Titi bangun perlahan dari tidurnya. Dengan tubuh yang semakin renta, ia menyiapkan dagangan telur asin yang jadi satu-satunya sumber penghasilannya. Setelah merapikan barang-barangnya, ia naik angkot menuju warung kecil tempatnya berjualan. Di sana, ia duduk, menunggu pembeli datang satu per satu. Jika belum cukup, siangnya beliau akan lanjut berjalan menuju kawasan Gasibu. Di bawah panas terik matahari, ia duduk bersila di trotoar, berharap ada orang yang lewat dan membeli dagangannya.
Penghasilan yang beliau dapat pun sangat sedikit. Dalam sehari, Mak Titi hanya mendapatkan sekitar 20 ribu. Namun dari jumlah itu, ia masih harus membayar ongkos angkot pulang-pergi serta dia harus menyetor uangnya. Sering kali, setelah seharian duduk dan menunggu, penghasilan bersih yang tersisa hanyalah nol rupiah. Bahkan tak jarang, ia justru merugi karena dagangan tak laku dan tetap harus membayar biaya transportasi.
Tempat tinggal beliau bukan rumah.
Hanya bekas warung kecil di pinggir jalan, yang disulap seadanya agar bisa ditempati.
Tanpa fasilitas layak, tanpa kenyamanan. Tapi di situlah beliau beristirahat, tidur, dan kembali bangkit keesokan harinya untuk bekerja lagi.
Di usia 107 tahun, seharusnya seseorang sudah beristirahat bersama keluarga.
Namun Mak Titi masih memaksa tubuhnya untuk kuat berdiri dan berjalan.
Masih mencoba tersenyum walau mata sudah mulai rabun dan langkahnya goyah.
Yang lebih menyentuh… beliau tak pernah mengeluh.
“Saya gak minta apa-apa. Tapi kalau bisa… pengen punya warung kecil sendiri di rumah, biar gak harus keliling terus.”
Agar beliau tak lagi harus duduk sendiri di pinggir jalan, menunggu rezeki dari orang yang lewat.
Agar beliau bisa berhenti bekerja saat tubuhnya sudah tak sanggup.
Agar sisa usia beliau bisa dijalani dengan tenang, di tempat yang pantas.
Karena di usia 107 tahun, tak ada lagi waktu yang bisa disia-siakan.
Dan tak ada alasan bagi kita untuk membiarkan beliau terus berjuang sendirian.