
Hujan deras dan badai hebat yang melanda Sumatera pada akhir November hingga awal Desember 2025 mengguncang kedamaian banyak desa. Sungai-sungai yang biasanya menjadi sumber kehidupan berubah menjadi arus ganas yang menghancurkan rumah, jembatan, dan akses jalan di Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Dalam hitungan jam, kampung-kampung tenggelam dalam lumpur, warga kehilangan rumah, dan aktivitas sehari-hari terhenti.

Menurut laporan resmi dan media nasional, sedikitnya 961 orang meninggal, lebih dari 293 orang hilang, dan lebih dari 32.000 warga mengungsi akibat rangkaian banjir dan longsor di wilayah Sumatera (sumber: Kompas, CNN Indonesia). Infrastruktur vital lumpuh, membuat distribusi bantuan menjadi sangat terhambat.
Namun ketika banjir mulai surut, ancaman baru justru muncul dan jauh lebih berbahaya: krisis air bersih. Sumur warga tertimbun lumpur, pipa air patah, tandon terseret arus, dan PDAM di berbagai kabupaten berhenti beroperasi. Di tenda-tenda pengungsian, setiap tetes air menjadi barang langka.

Di tengah krisis ini, kesaksian warga memperlihatkan betapa beratnya kondisi di lapangan. Dalam laporan BBC Indonesia, disebutkan bahwa:
“Sejumlah warga di Meureudu, ibu kota Kabupaten Pidie Jaya, mengaku terpaksa minum air hujan yang ditampung tiga hari pascabanjir untuk bertahan hidup mengingat tiada bantuan. Penuturan serupa datang dari warga di Lubuk Tukkko, Tapanuli Tengah. Lantaran bantuan yang tak kunjung datang, warga memakai air hujan sebagai pengganti air bersih. Tapi akibatnya, warga jatuh sakit setelah beberapa kali mandi dengan air hujan.”
“Saat ini masyarakat memanfaatkan parit untuk mencuci lantaran aliran air dari PDAM belum pulih,” ujar Damai Mendrofa, korban banjir di Tapanuli Tengah.

(sumber: BBC Indonesia)
Situasi ini bukan hanya menyulitkan keseharian, tetapi juga memicu ancaman kesehatan: diare, penyakit kulit, infeksi saluran pencernaan, hingga potensi wabah di lokasi pengungsian yang padat. Anak-anak, lansia, dan ibu menyusui menjadi kelompok yang paling rentan.
Krisis ini memperlihatkan bahwa persoalan air bersih bukan hanya soal cuaca ekstrem, tetapi juga rapuhnya infrastruktur air, degradasi lingkungan, dan terbatasnya sistem tanggap darurat di daerah pedalaman.

Ketika warga hidup di tenda darurat tanpa kepastian, kita kembali diingatkan bahwa akses air bersih adalah hak dasar manusia yang tidak boleh hilang bahkan di tengah bencana.
Setiap sumur yang dibersihkan, setiap tandon yang dipasang, setiap jerigen air bersih yang mencapai pengungsian semuanya adalah langkah nyata untuk menyelamatkan hidup sesama.
Di tengah lumpur, reruntuhan, dan duka... Air Bersih adalah cahaya harapan.
![]()
Belum ada Fundraiser