Kalau dagangan gak laku, ya... abah puasa.”
Itu yang pelan-pelan diucapkan Abah Ule, saat ditanya kenapa sejak pagi belum menyentuh makanan apa pun.
Di usianya yang sudah menginjak 60 tahun, Abah masih memikul mainan-mainan anak seperti kuda lumping kecil, berjalan kaki dari satu sudut jalan ke sudut lain. Semua dilakukannya sendirian. Hujan, terik, bahkan saat tubuhnya lemas karena belum makan, ia tetap berusaha berjalan—berharap ada satu-dua mainan yang laku hari itu.
Pagi itu, Abah bilang baru satu mainan yang laku. Itu pun bukan miliknya sendiri, karena sebagian dari dagangannya hanyalah titipan orang lain. Jika tidak ada yang membeli, ia tetap harus menyetor. Kadang, tidak hanya tidak mendapat untung—tapi malah harus nombok. Dan kalau uang tak ada, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah mengganjal perut dengan air putih.
Sudah dua bulan ini kontrakannya belum terbayar. Abah takut. Ia berkata lirih, “Kalau saya disuruh pergi, saya mau tinggal di mana? Saya udah gak kuat lagi di jalan.” Kalimat itu keluar pelan, tapi terasa berat. Karena Abah tidak sedang mengada-ada. Ia benar-benar tidak punya siapa-siapa. Hidupnya kini sebatang kara. Istrinya sudah lama pergi. Anak-anaknya tak pernah mengunjunginya lagi.
Tak ada keluarga yang menunggu. Tak ada tempat pulang selain kontrakan kecil yang terancam hilang. Namun Abah tetap menjaga marwahnya. Ia tidak meminta-minta. Ia tetap berdagang, tetap berdiri, tetap berusaha keras.
Abah tidak pernah minta banyak. Ia hanya ingin tetap bisa makan, tetap bisa jualan mainan keliling, dan tetap punya tempat berteduh. Bukan kemewahan, bukan kenyamanan. Hanya hidup yang layak dan sedikit ketenangan di usia senjanya.
Hari ini, kita bisa bantu Abah Ule.
Supaya ia tak harus terus menahan lapar. Supaya ia tidak diusir dari satu-satunya tempat yang ia sebut rumah. Supaya ia tak harus terus berjuang sendirian.