Di usia 83 tahun, ketika seharusnya bisa menikmati masa tua dengan tenang, Abah Udin justru masih berjualan jeli keliling.
Setiap siang sebelum jam pulang sekolah, Abah sudah setia menunggu di depan gerbang — berharap dagangannya habis terjual, agar bisa membawa sedikit rezeki pulang untuk anak dan cucu-cucunya.
Meski anak-anaknya kini sudah dewasa, bahkan dua di antaranya berstatus janda, Abah tetap merasa bertanggung jawab sebagai seorang ayah dan kakek.
Ia menanggung kebutuhan keluarga sendirian, di usia yang sudah rapuh.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Abah rela berjalan di bawah terik matahari dan kehujanan demi bisa membawa makanan ke rumah.
Pernah, Abah hanya mendapat Rp10.000 sehari… padahal modal jualannya saja mencapai Rp120.000 setiap tiga hari sekali.
Tak jarang, mereka terpaksa berpuasa — bukan karena ibadah, tapi karena tak ada yang bisa dimakan.
Sebelum menjadi penjual jeli, Abah pernah bekerja di bengkel bubut selama 10 tahun. Tapi pekerjaan berat itu justru membuat kesehatannya menurun.
Sejak tahun 2002, Abah mengalami gangguan saraf akibat terlalu sering terpapar panas mesin penyepuhan besi.
Ia sempat berobat, namun karena keterbatasan biaya, pengobatannya harus berhenti di tengah jalan.
Kini, di tengah rasa sakit dan usia yang semakin renta, Abah masih berjuang demi keluarganya.
Bukan untuk dirinya sendiri — tapi agar anak dan cucu-cucunya tidak kelaparan.
Abah tidak pernah meminta banyak, hanya ingin tetap bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan mereka seadanya.
Yuk, bantu ringankan langkah Abah Udin.
Setiap donasi yang kamu berikan akan jadi kekuatan untuk Abah terus bertahan di masa tuanya.
Belum ada Fundraiser