“Sehari cuma laku 3, kadang cukup buat ongkos pulang aja…”
Kalimat itu diucapkan pelan oleh Abah Endang (74), saat duduk di tepi jalan, kelelahan setelah seharian memikul tikar dagangannya.
Setiap pagi sejak pukul 6, Abah sudah berjalan keliling sejauh 10 sampai 15 kilometer, sambil memanggul tikar-tikar berat yang ia jual dari satu tempat ke tempat lain. Jalannya perlahan, napasnya sering tersengal. Tapi ia tetap memaksakan diri, karena hari itu harus tetap pulang membawa uang.
Tikar-tikar itu pun bukan milik Abah sendiri. Ia mengambilnya dari orang lain dan menjual dengan sistem setor. Jika tidak laku, ia tetap harus membayar. Satu tikar dijual 15–30 ribu, tapi hasilnya sangat tak menentu. Bahkan pernah, saat dagangan sedang ramai, uang hasil jualan dan setoran Abah hilang dicuri. Totalnya 3,5 juta—habis tak tersisa.
Namun yang membuat hati ini lebih perih adalah saat tahu: Abah tidak hanya berjualan untuk dirinya sendiri. Di kampung, jauh di Tasik, istri dan anaknya menunggu. Istrinya sakit. Dan anak bungsunya baru saja menyelesaikan SMP, ingin lanjut ke SMA. Itulah alasan Abah masih terus memanggul tikar berat itu, meski tubuhnya sudah sering gemetar saat minum dan ngos-ngosan karena kelelahan.
“Pengen anak bisa lanjut SMA,” ucap Abah lirih. Harapannya sederhana, tapi perjuangannya luar biasa.
Kadang, karena terlalu lelah, Abah duduk bersandar di pinggir jalan—di depan toko kosong, di halte, di trotoar panas. Hanya untuk memulihkan tenaga agar bisa berjalan lagi. Tidak jarang juga ia pulang tanpa membawa hasil, hanya cukup untuk ongkos elf kembali ke Tasik yang mencapai 80 ribu.
Abah tidak pernah mengeluh. Tidak pernah meminta. Ia hanya ingin anaknya sekolah, dan istrinya bisa sembuh. Tapi tanpa bantuan, perjuangan Abah mungkin akan semakin berat.
Hari ini, kita bisa bantu Abah Endang.
Agar ia tak perlu terus mengangkat beban sebesar ini sendirian.
Agar ia bisa bernafas lebih tenang, dan anaknya punya harapan untuk masa depan.
🙏 Donasi sekecil apa pun, akan sangat berarti untuk Abah.